Media Edu Partner – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah dibahas memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI. Hal ini disebabkan perluasan jabatan di kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yang dianggap sebagai tanda bangkitnya kembali konsep dwifungsi TNI.
Apa Itu Dwifungsi ABRI?
Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah kebijakan yang memberikan peran ganda bagi militer, yaitu sebagai alat pertahanan negara sekaligus pengelola pemerintahan. Konsep ini diterapkan secara resmi pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan bertahan selama lebih dari tiga dekade.
Menurut buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dkk., pada masa Orde Baru, ABRI berperan sebagai penggerak dan penjaga stabilitas nasional. Gagasan ini awalnya dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution dalam konsep “jalan tengah,” yang memungkinkan militer tidak hanya bertugas di bidang pertahanan tetapi juga turut serta dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Penerapan dan Dampak Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI mulai diterapkan pada awal Orde Baru dan dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Kebijakan ini membuat perwira aktif ABRI menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan, termasuk DPR, MPR, hingga jabatan strategis di partai Golkar.
Dominasi militer dalam pemerintahan menyebabkan berkurangnya peran sipil dalam politik serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan negara. Puncaknya terjadi pada 1990-an, di mana anggota ABRI memegang kendali di berbagai sektor, termasuk sebagai bupati, wali kota, pejabat kementerian, hingga duta besar. Keterlibatan militer yang terlalu dalam dalam urusan sipil juga memicu pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakstabilan politik.
Reformasi 1998 dan Penghapusan Dwifungsi ABRI
Saat gerakan Reformasi 1998 bergulir, salah satu tuntutan utama masyarakat adalah menghapus dwifungsi ABRI. Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, militer mulai ditarik dari jabatan-jabatan sipil, dan dwifungsi perlahan dihapuskan.
Namun, kini setelah hampir 27 tahun berlalu, kekhawatiran tentang kembalinya dwifungsi ABRI kembali mencuat.
Revisi UU TNI dan Potensi Kembalinya Dwifungsi
Revisi UU TNI yang sedang dibahas berencana memperluas jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota TNI aktif, dari sebelumnya 10 menjadi 16.
Saat ini, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI hanya mengizinkan anggota aktif TNI menempati jabatan di 10 lembaga, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretariat Militer Presiden, Kementerian Pertahanan, BIN, hingga Mahkamah Agung.
Dalam revisi terbaru, lima kementerian/lembaga tambahan yang dapat ditempati prajurit TNI aktif meliputi:
- Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Keamanan Laut
- Kejaksaan Agung
Belakangan, muncul tambahan satu lembaga lagi, yaitu Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), yang dinilai membutuhkan peran TNI karena berkaitan dengan keamanan wilayah perbatasan.
Menurut anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin, keputusan memasukkan BNPP dalam revisi UU TNI merupakan hasil pembahasan Panitia Kerja RUU TNI. “Dalam peraturan presiden dan pernyataannya, BNPP memang rawan dan berbatasan, sehingga ada penempatan anggota TNI,” ujarnya.
Jika revisi ini disahkan, maka prajurit TNI aktif tidak perlu lagi mengundurkan diri dari dinas militer untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara tersebut.
Meski pemerintah menegaskan bahwa tidak ada niat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, banyak pihak tetap waspada terhadap kemungkinan meningkatnya keterlibatan militer dalam urusan sipil.